• Kolom
  • BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #11: Pengawas Vaksinasi Cacar di Priangan

BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #11: Pengawas Vaksinasi Cacar di Priangan

Dalam catatan Schoute, terbaca antara 1816-1822 di Batavia hanya ada 16 orang petugas vaksinasi (vaccinateurs), Karawang 3 orang, dan Cirebon sebanyak 24 orang.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Thomas Stamford Raffles mengintensifkan pemberantasan cacar melalui vaksinasi saat menjabat sebagai Letnan Gubernur Jawa antara 1811-1816. (Sumber: Wikipedia)

21 Mei 2022


BandungBergerak.idDua tahun lebih setelah memperoleh tanah Ujungberung dan Sukabumi, pada 13 Mei 1815, Andries de Wilde diangkat menjadi pengawas vaksinasi cacar di Priangan. Ini berdasarkan pengumuman yang dibuat oleh Thomas Stamford Raffles. Letnan gubernur jenderal Jawa itu kemudian mengulanginya lagi pada pengumuman 29 Agustus 1815. Di situ dikatakan Andries diangkat sebagai pengawas vaksinasi dan pengendalian sipilis di Priangan (“Superintendent van de vaccine en de bestrijding van syphilis in de Preanger”).

Raffles, yang notabene mitra berkongsi saat membeli Sukabumi dan tetap menjadi atasan Andries hingga Inggris hengkang dari Pulau Jawa, dikenal sebagai orang pertama yang meletakkan dasar pengorganisasian vaksinasi cacar di Nusantara. Dengan demikian, agar konteks pengangkatan Andries de Wilde sebagai inspektur vaksinasi oleh Raffles lebih jelas, saya akan membahas kiprah letnan gubernur jenderal itu.

Menurut P. Boomgaard (“Smallpox, Vaccination, and the Pax Neerlandica, Indonesia, 1550-1930”, dalam BKI 159, no: 4, 2003) pada 1815, selama pendudukan Inggris, Raffles meletakkan dasar bagi pengorganisasian program vaksinasi. Salah satu tindakannya adalah membentuk mantri cacar pribumi yang terlatih, di antaranya termasuk melibatkan kalangan ulama.

Demikian pula yang dikatakan Ann Jannetta (The vaccinators: smallpox, medical knowledge, and the ‘opening’ of Japan, 2007). Ketika Inggris mencaplok Jawa pada 1811, dokter bedah Inggris yang menyelenggarakan inspeksi kesehatan di Jawa menemukan mantri cacar pribumi mengadakan vaksinasi pada anak-anak di sebagian besar pulau itu. Dengan temuan itu, Raffles sebagai ilmuwan amatir yang tertarik kepada kesehatan dan penduduk pribumi menaruh perhatian besar kepada vaskinasi.

Kata Jannetta, Raffles menyelenggarakan program vaksinasi terpusat yang mengatur imunisasi anak-anak di seantero Jawa serta mengadakan “Sawah Jennerian”. Pada 1815, para pemilik lahan pribadi dan pengawas distrik diharuskan mengawasi penyelenggaraan vaksinasi di tempat masing-masing. Contoh bentuk vaksinasi disebarkan kepada otoritas distrik dan metode pelaporannya distandarisasi dan terpusat. Mantri cacar setempat harus membuat laporan setiap bulannya yang berisi jumlah yang berhasil dan gagal divaksinasi. Pihak distrik diharuskan membuat ringkasan laporan tersebut kepada satu dari empat pengawas vaksinasi.

Dari tulisan Ulbe Bosma (“Smallpox, Vaccinations, and Demographic Divergences in Nineteenth-Century Colonial Indonesia” dalam BKI Vol. 171 No. 1, 2015), saya tahu tempat-tempat vaksinasi yang dilakukan pada zaman Raffles, terutama berada di kota-kota pelabuhan, yaitu Surabaya, Semarang, dan Batavia.

Baca Juga: BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #8: Membeli Lot 3 Tanah Ujungberung
BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #9: Berkongsi Membeli Lot 4-7 di Kabupaten Cianjur
BIOGRAFI ANDRIES DE WILDE #10: Menjadi Orang Sukabumi

Karawang, Cirebon, dan sebagian Priangan pada zaman Thomas Stamford Raffles. Ketiganya menjadi wilayah kerja Andries de Wilde antara 1815-1819. ((Sumber: A map of Java, chiefly from surveys made during the British administration constructed in illustration of an account of Java by Thomas Stamford Raffles Esq (1817, COLLBN Port 56 N 70))
Karawang, Cirebon, dan sebagian Priangan pada zaman Thomas Stamford Raffles. Ketiganya menjadi wilayah kerja Andries de Wilde antara 1815-1819. ((Sumber: A map of Java, chiefly from surveys made during the British administration constructed in illustration of an account of Java by Thomas Stamford Raffles Esq (1817, COLLBN Port 56 N 70))

Sawah Jennerian

T.S. Raffles kembali ke Inggris pada 25 Maret 1816. Di tanah airnya, Raffles sempat berkorespondensi dan mengunjungi penemu vaksin cacar, Edward Jenner (1749-1823). Topik pembahasan mereka berdua berkaitan intensifikasi pemberantasan wabah cacar melalui vaksin yang ditemukan Jenner.

Bukti surat-menyurat Raffles-Jenner mengemuka dalam surat bertitimangsa Berkley, 5 September 1816, yang dikirimkan Jenner kepada Dr. B.W. Coley di Cheltenham, Inggris. Kata Jenner, sebagaimana yang saya baca dari John Baron (The life of Edward Jenner, with illustrations of his doctrines, and selections from his correspondence, 1838), “Saya sangat terbantu oleh Anda karena komunikasi ihwal pemerkenalan vaksin ke Pulau Jawa, dan saya mohon untuk menghaturkan selamat dan terima kasih kepada Tuan Raffles atas suratnya yang sangat menggugah mengenai vaksin, dan menyakinkan kepadanya betapa saya bahagia dan merasa sangat terhormat mendapatkan kunjungannya di Berkeley …”.

Coley, dokter bedah angkatan laut Kerajaan Inggris serta mantan dokter dan ahli bedah di Rumah Sakit Angkatan Laut di India, kemungkinan besar pernah bersua dengan Raffles. Ini terbukti dari suratnya untuk Medico-Chirurgical Journal Vol. 3 No. 14 (1817). Dalam pengantar surat bertitimangsa Cheltenham, 10 Desember 1816, Coley menulis: “Kemajuan vaksinasi merupakan pokok obrolan yang menarik bagi orang Inggris, karena penemuannya pun memang milik kita; oleh karena itu, saya mengirimkan sisipan untuk jurnal yang Anda kelola, berupa cacatan mengenai keadaan vaksinasi yang berjalan baik di Pulau Jawa, yang saya peroleh dari pihak berwenang paling tinggi.”

Isi sisipannya merupakan pengalaman Raffles di Pulau Jawa. Coley menulis, “Dalam kerangka mengelola pajak dari negeri itu, bagian-bagian lahan tertentu yang termasuk masing-masing desa, dibangun terpisah untuk mendukung penegakan vaksin; dan sejumlah mantri cacar pribumi dipilih di setiap distrik. Mantri-mantri cacar tersebut di bawah pengawasan langsung para dokter bedah Eropa, yang juga memberikan bayarannya dari pajak tanah; Pemerintah Inggris telah membatalkan haknya bagi pelembagaan ini. Jumlahnya sekitar satu persen dari pajak keseluruhan negeri itu; dan sebagai tanda hormat serta pujaan bagi Dr. Jenner, tanah atau sawah itu dijadikan Sawah Jennerian, dan diakui di semua daftar nama penyewa di negeri itu; kata Jennerian, dipadukan sedemikian rupa dengan bahasa negeri itu, dalam arti menjadi bersatu padu. Dengan pengaturan ini, setiap orang semestinya mengagumi rasa klasik Gubernur Jawa, sehingga mengabadikan nama Jenner, dan kemampuan yang ditampilkannya dalam pendirian lembaga yang begitu baru dan bertahan lama.”

Coley juga mengaku Raffles bukan orang pertama yang memperkenalkan vaksinasi ke Hindia. Katanya, “Vaksinasi telah diperkenalkan ke bagian timur Pulau Jawa di masa kekuasaan Belanda, tetapi tidak ada perencanaan umum yang diadopsi untuk menyebarkan keuntungan besar vaksinasi ke seantero negeri itu atau membuatnya menjadi permanen. Sungguh, beberapa waktu sebelum pengukuran untuk mengetahui pengaruh vaksinasi telah dilakukan Inggris, dan hanya karena pemerkenalan sistem baru pemerintahan yang memungkinkan vaksinasi dapat berhasil sesuai dengan yang diinginkan.”

Sementara Raffles sendiri mengungkap pengalamannya itu setahun kemudia, dalam The History of Java (1817). Antara lain ia mengatakan, “Sebelumnya saya menyinggung tekanan pemerintah, sebagai pemeriksaan utama untuk peningkatan populasi di Jawa. Di antara sekian banyaknya seperti cacar dan penyakit lainnya, yang umum ada di negeri itu dan sama terjadi di bagian belahan dunia lainnya. Dari keadaan populasi penduduk yang tersebar luas, penyakit menular, seperti cacar, yang sebelumnya agak kurang merusak di Jawa, dibandingkan dengan di negeri-negeri yang penduduknya lebih padat hingga kota-kota besar. Diharapkan dengan penyelenggaraan inokulasi vaksin yang ditegakkan pemerintah Inggris, dan dicoba untuk membuatnya secara permanen, barangkali kebinasaan akibat cacar dapat sepenuhnya tertahan.”

Kiprah di Priangan dan Cirebon

Hal-hal di atas merupakan latar belakang bagi pengangkatan Andries de Wilde sebagai pengawas vaksinasi cacar di Priangan pada 13 Mei 1815, sekaligus juga menjadi tambahan keterangan bahwa yang dilakukan oleh pemerintahan Inggris sementara di Pulau Jawa juga melakukan vaksinasi cacar di dataran tinggi Priangan, tidak melulu di kota-kota pelabuhan.

Tentu saja, bagi Andries, vaksinasi cacar bukanlah hal yang baru. Karena sebelumnya, antara 1805 hingga 1807, ia sebagai dokter bedah berpangkat mayor, menyelenggarakan tur vaksinasi cacar di Priangan. Saat itu dia melibatkan tokoh-tokoh setempat sekaligus kalangan ulama, agar tidak mendapatkan penolakan dari masyarakat pribumi kebanyakan. Dengan demikian, pengangkatannya sebagai inspektur vaksinasi pada 1815 merupakan kali kedua keterlibatannya dalam pemberantasan wabah cacar. Bahkan aktivitasnya tersebut terus berlangsung hingga tahun 1819.

Sebagai pegawai pemerintahan Inggris di Jawa, Andries kerap disebut-disebut dalam publikasi, sepanjang berkaitan dengan nama-nama para pejabat. Surat kabar The Java Government Gazette (2 Desember 1815), menyebut-nyebut Andries de Wilde sebagai “Superintendent noemt in Cheribon en de Preanger” (inspektur di Cirebon dan Priangan).

Kemudian pada surat bertitimangsa 27 Januari 1816, Andries disebut sebagai “Superintendent der Vaccine”. Demikian pula dalam The Java Annual Directory and Almanac for 1816 (1816), Andries de Wilde ditempatkan dalam jajaran para pejabat, di antaranya Thomas McQuoid (Resident and Superintendent of Coffee Culture); P. van de Poel (Head Assistant); G. Vriese (Assistant for the Districts of Chianchore and Bandong); P.A. Matheze (Assistant for the Districts of Crawang); F. Lunel (Assistant for the Districts of Sumedang, Limbangan and Soecapoora); Reetjes (Assistant Surveyor) dan Andries de Wilde (Superintendent of Vaccination).

Bagaimana dengan kiprah pengawasan vaksinasi itu? Menurut D. Schoute (De Geneeskunde in Nederlandsch-Indie gedurende de negentiende eeuw, 1936), hingga Agustus 1819, Andries de Wilde masih menangani wabah cacar di Cirebon dan Karawang sekaligus memperkenalkan penggunaan vaksin ke tengah-tengah masyarakat. Dalam surat yang dikirimkan kepada Raja Belanda pada 1821, ia mengaku berhasil memvaksinasi 40 ribu anak-anak di Karawang dan Cirebon. De Haan (Priangan, Vol I, 1910) dan D. Schoute (1936) meragukan capaian angka itu.

Berapa sebenarnya jumlah orang yang divaksinasi oleh Andries de Wilde selama menjabat sebagai inspektur vaksinasi? Saya menemukan jawabannya dari Schoute (1936). Di Priangan antara 1 Juni 1815 hingga 1 Januari 1817 ada 8.210 anak-anak yang divaksinasi. Tahun berikutnya, 1817, 5.699 anak; lalu pada 1818 sebanyak 6.074 anak dan 1819 merosot menjadi 625 orang anak. Menurut Schoute, memang setelah kepergian Andries de Wilde pada Oktober 1819, upaya vaksinasi cacar di Priangan menunjukkan angka penurunan.

Bila dikaitkan dengan jumlah penduduk Priangan antara 1811-1816 (Raffles, 1817 dan Wilde, Berigten betreffende de landschappen Preanger Regenschappen, 1829) yang seluruhnya berjumlah 171.110 orang, dengan sebaran 38.994 orang di Kabupaten Cianjur, 56.122 orang (Bandung), 34.594 orang (Sumedang), 12.270 orang (Limbangan) dan 29.130 orang (Sukapura), maka sebenarnya upaya vaksinasi cacar oleh Andries de Wilde dan timnya terbilang masih menjangkau sedikit orang.

Namun, hal tersebut agaknya dapat dimengerti bila mempertimbangkan jumlah orang yang terlibat dalam upaya pembasmian cacar di Tatar Sunda umumnya, dan khususnya Priangan. Dalam catatan Schoute (1936) terbaca antara 1816-1822 di Batavia hanya ada 16 orang petugas vaksinasi (vaccinateurs), Karawang 3 orang, dan Cirebon sebanyak 24 orang. Dengan demikian, bila benar 40 ribu orang yang telah divaksinasi oleh tim Andries de Wilde berarti sebuah prestasi besar, yang pastinya juga tidak terlepas dari pengaruh mantan mitra bisnisnya, Thomas Stamford Raffles yang menggalakkan vaksinasi cacar.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//